Jumat, 25 September 2020

Fantasi? Sci-Fi? RomCom?


     Dapat dikatakan gue menggemari banyak genre film. Walau tentu film yang gue tonton akan sesuai mood saat itu, lagi pengin atau nggak. Yah, namanya Lila si moody. Kalau dulu pun pilihan gue nonton film cuma berdasarkan apa yang tayang di bioskop, karena gue cukup malas nonton di situs bajakan. Selain karena pernah suka sama anak perfilman dan tahu dia super repot bikin film (wah, ini pertama kalinya gue ngaku di publik), gue males nyari-nyari film di situs tersebut. Ada banyak lagi iklannya. Bikin bingung. 

    Film pertama yang gue suka adalah, tentu saja kita semua tahu, Harry Potter. Hal ini mulai saat gue kelas 2 SD (sekitar 2002-2003), gue nonton filmnya di VCD yang film ke 1-2. Dan itu sangat berkesan karena gue jadi punya dunia baru di kepala. Dunia sihir di Harry Potter tentu menarik banget. Mereka punya semesta yang detil alias setiap pertanyaan kita pasti J.K. Rowling punya jawaban yang "Anjir jadi gitu". Padahal kalau dipikir, dia mau jawab apapun ya kita akan mikir gitu. Lha orang dia 'tuhannya'.
    
    Film ini yang membuat gue tertarik untuk mulai membaca buku tebal. Dulu rasanya kalau tahu buku Harry Potter makin tebal dari edisi ke edisi tuh senang. Semakin tebal, semakin lama di dunia mereka. Buku dan filmnya tentu beda. Ada banyak hal di buku yang nggak ada di filmnya. Wajar, film punya durasi yang pendek. Namun pagi penggemar bukunya, filmnya tuh ya tetap menyenangkan. Namanya juga imajinasi lo diwujudkan istilahnya. Bahkan sampai sekarang pun gue masih suka. Masih menabung untuk beli merchandise-nya yang gemas-gemas.

    Film selanjutnya yang gue suka bergenre musical romantic-comedy yaitu, La La Land. Diperankan oleh Ryan Gosling dan Emma Stone dan gue suka banget sama merekaaaaa! Filmnya indah dan gemas. Ada banyak scene yang rasanya mau di-capture untuk jadi wallpaper. Terbukti dansa mereka jadi sangat iconic bahkan banyak dijual jadi kaos sampai enamel pin. Lagunya enak-enak. Walaupun ending-nya nggak pernah ada yang suka karena sedih, tapi justru hal inilah yang gue suka: hal yang indah dan membuat kita optimis pun bisa berakhir nggak sesuai yang kita mau dan ternyata itu yang terbaik. Lagu City of Stars masih gue dengarkan sampai sekarang dan malah jadi lagu yang paling sering gue putar 6 bulan terakhir. Kaget aja karena masih. 

    Selanjutnya, gue suka Rectoverso. Film ini dari bukunya Dewi Lestari, yang baru gue baca berapa lembar secara sembunyi-sembunyi dari sepupu gue. Iya, gue waktu itu ke kamarnya diam-diam karena adem. Film ini menceritakan 5 cerita (kalau nggak salah). Semuanya tentang cinta yang nggak bisa memiliki, dengan penyebab yang berbeda tiap cerita. Gue suka karena sedih akan cinta-yang-tidak-bisa-memiliki ini cukup personal di gue. Rasanya cukup relate ke kehidupan gue, makanya gue suka. Beberapa aktor di situ juga aktingnya bagus dan bisa bikin gue nangis sesenggukan. Gue nonton ini dari minta-minta film hasil download teman, tapi nggak tahu teman yang mana alias lupa. Lalu gue tonton tepat di saat gue patah hati dan memang harus move on tapi hati gue belum mau. Should I rewatch it now?

    Lupa sih film apa aja yang gue suka. Ada banyak film maupun series yang gue suka bahkan sampai gue bagikan di IG Story ataupun status WhatsApp. Namun gue ingat yang paling berkesan ya tiga itu sih. Gue suka film dengan genre yang sama dengan film-film di atas juga. Semacam Hunger Games, 500 Days of Summer, dan nggak lupa film Indonesia yang makin ke sini makin oke, kayak 27 Steps of May, Ave Maryam, Lovely Man, Critical Eleven, dll. Jujur lupa film apa aja yang udah gue tonton, tapi tiap film pasti punya kesan tersendiri. Ada hal yang ingin disampaikan walau setitik. Tergantung sudut pandang dan keterbukaan diri sendiri menurut gue. Ya begitulah pendapatku si sotoy. Yang pasti, menonton film masih menjadi kegiatan favorit gue sampai saat ini. Sekadar untuk refreshing, atau 'kabur' dari dunia.

(Kangen) Sendiri dan Bahagia


Kenapa kangen? Padahal masih sendiri (kan?)

Gue masih sendiri, yang tidak terlalu sendiri, saat ini. Dikatakan tidak terlalu sendiri karena gue punya teman dekat, yang entah ya dia masih menganggap teman 'dekat' atau nggak ahaha. But I love him.

It's all because I love him. Gue merasa rindu menjadi orang yang single and happy karena saat ini gue memang sendiri, namun masih sangat sering kebahagiaan gue gantungkan ke dia. Ini yang gue nggak mau terjadi di diri sendiri. Gue selalu mau mencoba untuk menjadi independen menjadi seorang manusia, dalam arti bisa bertahan hidup tanpa perlu menggantungkan ke orang lain.

Menjadi sendiri dan bahagia tentu gue pernah alami. Bebas ke manapun, ngapain aja, tanpa perlu memikirkan kabarnya dia gimana atau sudah makan belum. Bebas pikiran gue. Walau kalau boleh memilih, gue akan pilih menjadi tidak sendiri dengan beban pikiran dia-sudah-makan-atau-belum karena rasanya gemas-gemas lucu.

Namun tetap tidak dipungkiri kalau gue bisa bahagia sendiri, tanpa perlu ada siapapun termasuk dia. Sejujurnya banyak hal yang bikin gue senang dan sering gue lakukan. Misalnya seperti nyanyi sendirian, nonton film, belanja hal-hal gemas seperti stiker, tas kecil buat ke Indomaret, pewangi ruangan, dan masih banyak lagi. Gue sangat menikmati perjalanan di angkutan umum sendirian, ngobrol random dengan ibu-ibu lanjut usia di Trans Jakarta suatu pagi, merekam kilasan gedung dari balik jendela MRT, mampir beli kopi di coffeeshop favorit ibukota atau sekadar jalan kaki ke motor di parkiran sambil ngayal kalau jadi penyihir gimana.

Banyak hal yang bisa bikin bahagia sangat sendiri. Tapi saat berdua, harus diakui, rasanya jauh lebih bahagia. Bahkan gue rela punya beban pikiran. Nggak tahu kenapa. Ini aneh, tapi bisa membuat gue berhenti melakukan hal-hal di atas hanya untuk mendapatkan kebahagiaan yang ini. Love is weird. Oh wait, we haven't reached about love theme, have we?

I miss being single and happy. And now I am trying to be that, again.

Sabtu, 19 September 2020

Mama dan Bapak


Mama
    
    Gue memanggil nyokap gue dengan sebutan "Mama". Harusnya dulu "Ibu", tapi konon saat kami masih tinggal di Cililitan, tetangga depan rumah gue yang juga merupakan teman sebaya gue memanggil nyokapnya "Mama". Gue yang masih kecil, labil dan belum bisa menentukan jati diri, ngikutin dia. Alhasil sampai sekarang manggilnya "Mama".

    Mama adalah orang yang ramah kepada orang. Istilahnya supel. Tiap ke suatu tempat, pasti dapat teman ngobrol. Atau sekadar beli gorengan di tempat baru, misalnya. Beliau bisa tahu tukang gorengan itu aslinya dari mana, tinggalnya di mana dan udah jualan berapa lama. Dulu saat gue praktek industri di Tangerang, tiap Minggu orang tua gue mengantar ke kontrakan karena aku adalah anak manja. Alasan sebenarnya kenapa gue nggak mau bareng jalannya sama teman karena nggak ada tebengan kosong plus lebih pengin lama di rumah dibanding di sana. Kembali lagi ke nyokap, kami suka mampir ke tempat makan random saat mengantar gue. Hitung-hitung, ini waktu kami makan bersama. Nah Mama tentu ngobrol sama yang jualan. Saking seringnya ngobrol, Mama pun ngomong "Wah, lama-lama Mama jadi orang Tangerang nih". Sungguh cerita yang nggak penting bukan?
    
    Namun hal itu kurang nurun sepenuhnya ke gue. Gue kurang luwes dalam berbasa-basi ke orang lain. Sering salah tingkah juga, grogi, kaku banget deh. Gue memang lebih memilih diam sendiri seringnya. Nah Mama tuh ngajak ngobrol orang. Bisa begitu tuh. Gue enggak, tapi bisa. Paham nggak? Yaudah nanti kita ngobrol ya kalau belum paham.

    Mama orangnya suka menyimpan sedih sendiri, apalagi kalau lagi sebal sama bokap gue hahaha. Nah ini baru mirip gue. Cuma mungkin bedanya gue beberapa kali masih curhat ke teman, tapi gue nggak tahu soal Mama curhat atau nggak. Gue memang nggak pernah cerita sih, terutama soal kisah asmara ya. Padahal Mama kepo banget sebenarnya,  I know it~ Gue bukannya nggak mau cerita, gue cuma bingung kalau ceritanya belum bahagia. Gue juga takut orang yang gue pilih nggak sesuai walaupun gue sayang banget hehe. Intinya gue mau langsung mengenalkan aja kalau sudah fix. Toh, gue punya pacar pasti bikin Mama senang sih hehe.

    Pernah suatu hari gue sering diam karena sedih. Cuma memang Mama nggak nanya sama sekali, tapi pasti kerasa kalau hawa gue beda. Lalu saat itu gue lagi main HP, tepatnya lupa main apa, dan gue ngomong "Huh ya ampun aku sedih banget.." karena satu hal sepele di HP yang sama sekali nggak ada hubungannya sama yang gue sedihin saat itu. Mama tiba-tiba respon "Sedih kenapa, Mbak? Coba cerita ke Mama. Kalau kamu sedih, Mama juga sedih..". Huh ya ampun aku sungguh menahan air mata saat itu.
    
 
Bapak

    Panggilan tidak berubah menjadi "Papa" kalau yang ini. Bapak gue berzodiak Cancer, yang mana buat gue pribadi kadang hal ini berpengaruh. Beberapa orang berzodiak ini cukup drama. Sering debat karena beda pendapat juga. Walau gue tahu, kami sama-sama sayang cuma ya susah aja cara ngungkapinnya alias gengsi.

    Bokap gue orangnya cukup temperamen. Gampang emosi dan juga suka ngeyel. Dulu jaman aku masih remaja (haaaah sekarang gue golongan dewasa muda!!), masih sering nggak mau kalah gue kalau berpendapat. Kalau sekarang memilih diam saja karena aku malas emosi. Makin gede gue memang lumayan makin menjauhi konflik walau banyak juga konflik yang memaksa masuk jadi ya mau nggak mau gue harus melawan ya, bunda-bunda.

    Selama ini kalau ada kerusakan apapun di rumah, sebagian besar tentu bokap gue benerin sendiri. Mulai dari elektronik sampai rumah. Alhamdulillah sekali karena jadi hemat biaya jasa reparasi. Cuma memang kalau soal renovasi rumah ini pasti kami minta tolong tenaga kuli. Bapak jadi mandor, yang tentunya super cerewet. Mesti rapi, mesti presisi. Kuli yang belum kenal dekat pasti capek sih dicerewetin mulu. Tapi memang hasilnya bagus sih. Sepupu gue aja kalau mau benerin sesuatu di rumahnya pasti nanya Bapak dulu.

    Bapak nih kuat nyetir jauh. Terbukti hampir tiap tahun kami pulang kampung ke Surabaya naik mobil, nyetir sendiri tanpa gantian. Sekarang sih udah ada adik gue, Kresna, yang mulai bisa bantu. Cuma baru satu tahun inilah kira-kira dia bisa. Hal tersebut dikarenakan kalau pergi ke luar kota tanpa mobil, nanti di sananya bingung kalau mau jalan-jalan. Untung kalau ada mobil pinjaman dari saudara yang lagi nggak dipakai. Nggak enak juga kalau pinjam terus karena takutnya mereka mau pakai tapi sungkan juga. Naik kendaraan umum nggak hemat juga. Enaknya kalau bawa mobil juga lebih hemat biaya dibanding naik bis/kereta/pesawat berempat. Di jalan pun bisa mampir-mampir untuk wisata dadakan.

    Ke orang baru, kurang lebih gue mirip sama bokap. Beliau kurang bisa basa-basi kayak Mama. Cuma lumayan seru dan bisa menjaga hubungan ke orang lain yang udah kenal. Teman dekat, geng, atau teman kerja tuh masih terpelihara dengan baik. Nggak susah ngobrolnya kalau udah kenal, walau Bapak cukup keras kepala kalau punya pendapat. Tapi yaudahlah ngalah aja biar lancar.

    Soal makanan sering rebutan. Bapak suka ngambilin makanan gue di kulkas, apalagi kopi literan. Ampun deh. Ya karena sama-sama suka kopi sih, cuma gue dan beliau yang suka. Kresna dan Mama biasa aja. Jadilah selama WFH ini aku tuh suka tekor karena beli kopi nggak bisa cuma segelas. Biar nggak rebutan. Tapi nggak apa-apa deh, biar pada seneng!