Yang baru baca TABUNG ini, baca yang part 1 nya dulu ya ;) karena kalo langsung sini ga seru hahaha
27 Maret 2012
27 Maret 2012
Berbagai referensi sedang ditelusuri
oleh kelompok karya tulis Faya. Mulai dari buku ensiklopedia, karya tulis yang
telah dibuat oleh para seniornya sampai browsing
di internet. Terlihat Erlan yang sedang berkutat dengan notebook-nya, sedangkan Yasha mulai mengetik hasil pencariannya
dari ensiklopedia. Rizal dan Merry izin tidak bisa ikut kerja kelompok hari
ini. Alasan Rizal sih karena ia ada urusan OSIS yang tidak bisa ditunda.
Maklum, dia adalah ketua OSIS yang baru. Kalau alasan Merry adalah ia harus
pulang cepat karena ada keperluan dengan keluarganya, entah itu apa. Walaupun
begitu Yasha, Erlan dan Faya tidak percaya, karena tadi terlihat Merry pergi
bersama teman-temannya ke arah yang berlawanan dari rumahnya.
Dan
anggota terakhir baru saja datang. Tidak lupa dia menggendong gitar yang tak
pernah lepas dari punggungnya, kecuali saat belajar di kelas, mandi dan tidur.
Dengan bersiul santai, dia langsung bergabung dan sok ingin membantu Erlan
mencari bahan karya tulis. Nggak lupa mengomentari hasil pencarian Erlan.
Seketika Erlan langsng melirik sinis padanya namun dia terlanjur beranjak ke
sebelah Yasha. “Duh, lo tuh kemana aja sih! Udah nggak bilang kemana lagi!”,
omel Yasha sambil menyalin sesuatu dari buku ke notebook-nya. “Nggak usah ngomel dulu, Sha.. Gue cukup peka kok
buat bantuin lo ngetik ini hehehe,” bela cowok itu yang langsung menggeser notebook Yasha ke hadapannya.
Faya
meliriknya sedikit-sedikit dari balik bukunya. Oke, sebenarnya
‘sedikit-sedikit’nya itu lama-lama menjadi banyak. Emang cuma Farres deh yang bisa membuat Yasha berhenti ngomel,
batinnya. Ia pun kembali serius mencari bahan untuk karya tulisnya.
Hari
pun semakin sore. Tiba-tiba gerimis pun turun dan semakin lama semakin deras,
namun tanpa angin kencang. “Gue keluar sebentar ya, coy. Mau ngadem,” kata Faya
tiba-tiba.. Setelah mendapat anggukan persetujuan dari Yasha dan Erlan, ia
keluar kelas dan bersandar pada dinding pembatas. Hujan memang menenangkan, batin Faya sambil memejamkan mata.
Membayangkan seluruh masalahnya luntur terguyur hujan sungguh sangat
menyejukkan. Sekilas bayangan tentang Nando berkelibat. Suatu malam di rumah
Faya, Nando pernah mengatakan jika hujan dapat menghantarkan ‘pesan rindu’ kita
pada orang yang kita rindu. Entah siapa kali ini yang ingin kukirimi ‘pesan
rindu’, Faya memikirkannya. Wajah Nando terbayang di benak Faya. Indah memang
mengingatnya ketika bersama Nando. Namun tiba-tiba wajah Riris muncul Faya pun
teringat pada cerita Tissa tempo hari. Faya tetap belum bisa menyimpulkan
kehendak Nando. Mungkin Tissa akan lebih mengerti... Tissa, sahabatnya dan kekasih
Farres. Seketika kelibatan kenangan tentang Farres tadi siang berputar pelan di
kepalanya. Sikapnya.. .Matanya... Suaranya...
“Fay,
kok lo aneh sih merem-merem alay sambil ngulurin tangan gitu? Mau jadi pengemis
hujan lo? Apa pengemis cinta? Ahahaha,” ledek Farres diiringi tawanya yang
meledek. Dia membawa sebuah bangku keluar kelas. “Yeuuu emang gue mau ngemis ke
siapa coba! Ada juga cowok pada ngantri ngemis cinta gue!”, sahut Faya membela
diri sambil tertawa. Farres bergaya pura-pura muntah dan akhirnya ikut tertawa.
Tertawa lepas bersama diiringi hujan.
“Kok lo bawanya
cuma satu sih, Res? Nggak peka deh jadi cowok. Kan gue juga capek,” keluh Faya
pada Farres yang malah sudah duduk dan mulai memetik gitarnya. “Karena gue mau
main gitar buat ngiringin lo nyanyi. Nyanyi enakkan berdiri kan?”, kata Farres ngeles seenaknya. Belum sempat Faya
protes, alunan lagu berjudul Orang Ketiga
milik band Hivi! terdengar lembut
dari alat musik berwarna cokelat tersebut.
Saat berjumpa dan
kau menyapa
Indah parasmu
hangatkan suasana
Buatku tak
percaya
Mimpi indahku
jadi nyata
Nada-nada yang
dimainkan Farres tidak jauh berbeda dengan band aslinya. Perbedaanya adalah
bahwa Farres bukan artis, Farres cuma sendiri dan yang memainkan adalah Farres.
Permainannya begitu lembut, mengalir dan membuat tenang orang yang
mendengarnya. Faya terhanyut dalam buaian irama yang bercampur lirirk-lirik
penuh makna. Bayangan yang pertama memenuhi pikirannya, entah kenapa adalah
Nando.
Saat sendiri
jalani hari
Bayang-bayangmu
selalu menghampiri
Dan akupun
mengerti
Apa maunya hati
ini
Faya mendengarkan
dengan penuh penghayatan. Matanya memandang jauh ke langit yang kini berwarna
putih mendung. Namun jiwanya mengingat masa lalu dan membuatnya merindukan
seseorang. Seseorang yang menjadi bayangan di pikirannya. Tak sadar mulutnya
bergerak melantunkan lirik-liriknya.
Namun tiba-tiba
kau ada yang punya
Hati ini terluka
Sungguh ku kecewa
Ingin ku berkata
Tiba-tiba suara
Farres terdengar mengikuti. Sebelumnya ia tidak pernah mau bernyanyi. Faya
langsung menengok terkejut ke arahnya dengan senyuman cerah. Ia ingin tertawa,
tetapi tidak ingin mengganggu momen bahagia yang langka ini.
Kasih maaf bila
aku jatuh cinta
Maaf bila saja ku
suka
Saat kau ada yang
punya
Suasana telah berubah
menjadi hangat. Farres tak dapat berhenti tersenyum sambil terus memainkan
gitarnya dan berduet dengan Faya. Suaranya yang bass mampu mengimbangi suara
tinggi Faya.
Faya terus bernyanyi dan tanpa sadar ia juga menatap Farres dalam.
Sirat mata keduanya seolah menyiratkan sesuatu yang tak bisa diungkapkan secara
lisan.
Haruskah ku
pendam rasa ini saja
Ataukah ku
teruskan saja
Hingga kau
meninggalkannya
Dan kita bersama
Senyum mereka lambat laun mulai pudar ketika sampai di ujung lagu.
Perasaan mereka yang telah terbawa jauh oleh suasana, tiba-tiba membuat pikiran
ragu. Dan tersadar akan makna lirik lagu tersebut. Hening menguasai suasana
tanpa menghalangi keempat mata yang saling mencari jawaban akan sebuah
pertanyaan.
Jelas raut wajah Farres yang terlihat bingung, ingin marah
sekaligus senang, menjelaskan kegundahan perasaannya. Ekspresi Faya lebih
terlihat kecewa dan sedih namun tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Pikiran
masing-masing terbang ke momen terakhir yang baru terjadi dan mencoba
mendeskripsikan perasaan yang hadir. Mereka berdua terdiam dalam waktu lama dan
saling bertatapan. Walau anehnya terasa benar.
Brak! Terdengar suara pintu
terbanting oleh seseorang. Faya yang spontan menengok melihat sekilas dengan
jelas ekspresi kekecewaannya. Tatapan kecewa dari seseorang yang sempat menjadi
bayangan pikiran Faya. Nando pergi dengan marah.
***
Dengan langkah gontai Faya langsung menuju
ke kamarnya sepulang sekolah. Tanpa melepas seragamnya, ia menghempaskan
tubuhnya ke atas tempat tidur. Kepalanya mulai penat dengan berbagai pikiran.
Ia bingung dengan ekspresi Nando. Dia mungkin cemburu dan itu wajar karena ia
memang sedang dekat dengan Faya. Namun Faya menjadi bertanya-tanya, apakah
sebegitu besar rasa sayang yang dimiliki Nando untuknya? Sedikit rasa senang
mulai menyelimuti hati Faya.
Akan tetapi yang lebih membuat Faya
bingung adalah perasaannya pada Farres. Tidak pernah sekalipun ia memikirkan
perasaannya terhadap Farres. Menurutnya Farres hanyalah seorang teman. Temannya
saat belajar, saat menemukan hal baru, saat bersantai, saat saling membutuhkan, saat salah satu atau
keduamya sedih, atau saat mereka bahagia. Sebentar... Kenapa Farres tampaknya
hadir setiap saat di samping Faya? Perlahan-lahan senyuman terlukis di wajah
manis Faya. Ia baru sadar bahwa dirinya telah terbiasa dengan Farres. Mungkin
selama ini tampak Farres yang membutuhkannya, namun tanpa sadar Faya lah yang
membutuhkan Farres. Butuh nasehatnya, butuh penghiburannya, butuh ide
cemerlangnya dan butuh canda tawanya.
Perasaan bersalah pun muncul di hati Faya.
Ia ingat pada sosok Tissa, teman baik sekaligus pacar Farres. Mengingat baru
saja memikrkan Farres sedemikian rupa, Faya merasa telah mengkhianati temannya.
Faya tak akan tega menusuk Tissa dari belakang, karena membayangkannya saja
sudah cukup sakit. Dan ia pun ingat pada Nando. Seseorang yang terlihat cemburu
melihat momen terakhirnya dengan Farres. Seperti telah lama memendam kecemburuan
itu. Faya sudah mencoba menghubunginya lewat telepon, namun jika tidak dimatikan,
ya diabaikan saja. Begitu juga dengan SMS atau jejaring sosial. Mulai bertanya
kabarnya sampai meminta maaf atas kesalahan Faya yang belum tentu benar. Dan
semuanya tidak ada balasan.
Rindu pada kebersamaannya dengan Nando muncul. Matanya, suaranya,
senyumnya, tawanya dan perasaannya. Mengingat itu semua membuat hati Faya
berdesir senang. Pipinya mulai merona hanya karena membayangkan wajah Nando.
Namun tiba-tiba wajah Farres terbentuk di pikiran Faya. Ia tidak tahu apa jenis
perasaannya terhadap Farres. Dan Ia tidak tahu bahwa beberapa blok dari
rumahnya, seorang pria sedang merasakan hal yang sama.
***
30 Maret 2012
“Maaf ya Fay gue kemarin kelepasan. Gue sebenarnya iri sama
kedekatan dan persahabatan kalian. Kalian ketawa bareng, nyanyi bareng,
ngerjain tugas bareng, semuanya bareng,” aku Nando pada Faya. Bel istirahat
kedua baru saja dibunyikan lima menit yang lalu dan Nando langsung menarik
tangan Faya untuk keluar kelas.
Sambil
berjalan menuju masjid untuk sholat Dzuhur,
Nando memaparkan seluruh perasaannya. Awalnya dia hanya menjelaskan kejadian
‘membanting’ pintu kemarin. Faya hanya senyam-senyum menanggapi. Dugaan tentang
Nando yang cemburu mungkin benar.
Dan
ia senang bisa mengetahui hal itu. Sampai senyumnya memudar perlahan, berganti
dengan ekspresi bingung pada sebuah pertanyaan.
“Perasaan
lo ke Farres tuh kayak apa sih, Fay?”, tanya Nando tiba-tiba. Wajah Faya
langsung menegang. Ia kebingungan bagaimana menjawab pertanyaan itu sebelum
terlihat salah tingkah duluan. Bagaimana
aku bisa memberitahu Nando? Aku saja tidak tahu dan tidak bisa untuk
‘memberitahu’ diriku sendiri, batin Faya kebingungan. Otaknya diputar untuk
mencari jawaban yang paling aman.
“Gue
sayang sama Farres, Nan. Gue sayang dia sebagai sahabat gue dan kakak laki-laki
gue. Gue daridulu nganggep dia sebagai kakak gue, karena gue nggak punya kakak
cowok hehehe,” jawab Faya cengengesan. Faya tahu dia tidak bohong, tapi ia juga
tahu bahwa ia tidak jujur.
“Oooh,
gue ngerti kok perasaan itu,” Nando menanggapi sambil melirik Faya sekilas.
“Kalau
lo gimana Nan? Perasaan lo ke Riris gimana?”, Faya mendapat ide untuk memutar
balikkan pertanyaan Nando. Pada dasarnya Faya memang tidak begitu menyukai
hubungan mereka berdua. Terlalu intim, terlalu dekat, terlalu lembut untuk hanya
sekedar ‘sahabatan’. Ia pun takut gosip yang beredar itu benar, bahwa Nando
menyukai Riris.
“Gue.....gue......
Ehm, gue ngaku kalau gue dulu sempat suka sama dia,” jawab Nando sedikit
menunduk. Seketika Faya langsung merasa menyesal menanyakan hal itu, karena
ternyata ia belum sanggup menerima kenyataan. Tapi sebentar.... Dulu? Sempat?
“Tapi
itu kan dulu, Fay. Dulu kita emang dekat banget. Dan gue tahu kalau gue nggak
ada harapan karena Riris udah jadian lama banget. Walau pada akhirnya gue
selalu pengen ada di sampingnya. Sampai akhirnya gue ketemu orang itu, Fay”,
Nando menjelaskan dari awal tentang dirinya saat bertemu dengan orang yang ia
maksud. Wajah Faya yang sebelumnya menunduk murung, perlahan terangkat ke atas.
Barisan ungkapan hati Nando mengalir dari bibirnya. Sekilas Faya menatap mata
Nando, yang membuatnya hangat dan tenang namun penasaran. Dan tak jarang
melihat ke arah lain karena tak bisa menahan salah tingkah dan degupan jantung.
Entah kenapa Faya ‘geer’ sendiri dan berfirasat orang itu dia. Tapi Faya mulai
berpikir pesimis dan merasa kecewa.
“Gue udah lupa
Riris kok, Fay. Karena bantuan orang itu. Orang yang gue sayang,” Nando
menyimpulkan jawabannya. Hanya saja Faya tetap ingin tahu siapa orang itu.
Mereka
telah sampai di depan tangga menuju masjid. Keheningan menguasai ketika mereka
membuka sepatu. Nando selesai sedikit lebih cepat dibanding Faya dan berjalan
menaiki tangga lebih awal. Faya mengikuti dibelakangnya. Tiba-tiba Nando
menengok ke belakang dan melemparkan senyuman manisnya. Walau terasa sedikit
kecewa, namun senyuman itu membuat Faya bisa membatin senang. Ah indahnya hari ini!
***
Sekolah
telah sepi. Hanya tampak beberapa murid di kelas-kelas XII yang sedang
mengerjakan tugas kelompok. Semilir angin meniup rambut Faya yang sedang
bersandar di tembok pembatas. Di kelas hanya ada Yasha, Farres, Tissa dan
Nando. Mereka sedang asyik bermain kartu UNO. Faya sudah memenangkan permainan
itu berkali-kali. Sambil menunggu permainan baru selanjutnya, ia menunggu di
luar. Senang rasanya mendengar tawa mereka. Ia kembali menatap langit mendung.
Wajah sahabat-sahabatnya terbayang diatas sana. “Gue sayang kalian,” ungkap
Faya tanpa sadar.
“Sayang
sama siapa Fay? Gue?”, celetuk Nando yang tiba-tiba sudah ada di sampingnya.
Rambut tebalnya menari-nari tertiup angin. Wajah tampannya bersemu merah.
“Yeeee,
geer lo, Nan!”, kata Faya sambil memukul punggung Nando. Nando pun mengusapnya
pura-pura kesakitan.
“Udah
selesai mainnya, Nan?”, tanya Faya sambil melihat ke arah ketiga sahabatnya. Anehnya
mereka seperti baru memperhatikan mereka dan langsung melihat ke arah yang
berbeda-beda sambil bersiul.
“Gue
menang duluan, walau setelah lo sih. Jadi gue kesini deh, abis nggak tega
ngeliat lo bakal masuk angin sendirian!”, ledek Nando yang sukses membuat Faya
menatap sinis ke arahnya. Alhasil mereka pun tertawa bersama walau sebenarnya
tidak ada yang lucu. Siapa sih yang nggak senang tertawa bersama orang yang
kita suka?
“Nan,
gue boleh tahu nggak siapa orang yang ngebantu lo move on dari Riris?”, tanya Faya hati-hati. Ia takut Nando marah
atas keingintahuannya yang terlalu besar.
“Serius lo mau
tahu?”, Nando malah bertanya balik. “Serius lah, Nan. Kali gue bercanda,” ujar
Faya. “Yaudah nggak usah ‘nge-gas’ juga dong, neng hehe”, Nando cengengesan sambil mencolek pipi Faya.
“Orang
yang membantu gue untuk move on dari
Riris itu...”, Nando menarik nafasnya. Entah kenapa jantung Faya mulai
berdegup. Sebenarnya ia hanya mencoba siap untuk mengetahui jawabannya. Baik
maupun buruk.
“Orang
itu adalah cewek yang lagi gue tatap sekarang,” kata Nando yang langsung
menatap lawan bicaranya. Faya langsung menjadi salah tingkah dan sedikit
tegang.
“Orang
itu lo, Faya”, Nando nyengir sambil mengacak-ngacak rambut Faya. Pemilik rambut
itu spontan merapikan rambutnya, sambil mencoba menyembunyikan wajah merahnya
yang tegang.
“Serius
lo?”, Faya ingin memastikan sekali lagi. “Iyalaaaah, gue suka sama lo, Fay. Dan
makin lama, gue jadi sayang sama lo. Mau kan jadi pacar gue?”, Nando bertanya
sambil tetap nyengir tampan walaupun wajahnya juga sedikit merah.
Faya
ingin langsung mengiyakan tawaran itu. Namun tiba-tiba ia ingat pada seseorang.
Ia pun menengok ke dalam kelas dan melihat ke arah ketiga sahabatnya. Yasha dan
Tissa hanya tersenyum. Faya melihat Farres memberi anggukan. Seketika Faya
mengiyakan pertanyaan Nando. Dan keduanya saling tertawa malu diiringi tangan
Nando yang mulai mengacak rambut Faya.
Farres,
Yasha dan Tissa keluar dari kelasnya dengan wajah cerah. Mereka semua menyalami
Nando dan Faya seperti layaknya pengantin. Senyum tulus terpancar dari wajah
mereka. Saat tiba giliran Farres menyalami Faya, senyuman tulus terlukis di
wajah Farres. Namun tampak tatapan yang hanya mereka berdua mengerti artinya.
Tatapan yang berarti tak rela dan tak ada lagi harapan.
***