Hola hola holaaaa :D
Udah lama ga ngepost ya :')
Ini nih, gue mau mencoba ngepost sebuah "TABUNG". Bukan, bukan foto kaleng, tabungan apalagi bayi tabung.
Tapi, TABUNG adalah....*jeng jeng jeng jeeeeeng* CERITA BERSAMBUNG!!
Jadi ini sebenernya cerpen gue buat tugas sekolah. Awalnya gue pikir maksimal jumlah kata buat cerpen itu 10.000, tapi ternyata... cuma 5000 -_-
Dan jumlah kata di cerita ini juga 5000 kok... lima ribu sembilan ratus lebih yeah.
So, gue buat aja jadi Tabung dan.... Cekidot!
Cewek sama cowok nggak bisa sahabatan? Kenapa? Takut adanya
benih-benih cinta? Ah, basi!
**
3 Februari 2012
Cewek. Gadis.
Wanita. Perempuan. Semuanya sama. Walaupun punya karakter yang berbeda tapi
tetap saja sama. Sama-sama suka bergosip, terkadang senang dimanja, senang
dipuji dan menyukai cowok. Terutama yang terakhir. Dan itu yang menjadi
masalah. Wanita diciptakan untuk menyukai pria. Begitu sebaliknya. Bukan hanya
menyukai, tetapi mencintai. Jadi, apa bisa hanya sekedar menjadi sahabat?
Bisa! jawab Faya, yakin. Ya memang itu
yang terjadi padanya. Faya bisa bersahabat dengan cowok. Bukan karena ia tomboy
atau tidak memiliki teman perempuan, tetapi karena....entahlah. Persahabatan
terjadi dengan sendirinya.
“Fay!
Liat matematika dong” kata Farres, sahabat cowok Faya entah sejak kapan.
Pertama kali melihat Farres, Faya takut menatap matanya. Bukan, bukan karena
takut menjadi salah tingkah tetapi matanya terlalu tajam. Terlalu tajam untuk
orang yang belum mengenalnya. Untung mereka tak sekelas di tahun awal SMA.
Tetapi sekarang....
“Aaaah
Farres, kemarin kan udah gue sms kalo ada PR. Kenapa lo nggak ngerjain sih?
Usaha dikit kek,” jawab Faya, kesal. Ia memang setiap hari mengirimi Farres sms
berisi PR-PR semenjak Farres memintanya. “Pleaseee...gue
udah coba ngerjain kok tapi ada yang
nggak ngerti jadinya bete. Boleh ya? Ajarin gue juga deh” mohon Farres dengan
tatapan nanar yang sok-ingin-nangis-dan-putus-asa.
“Nggak
usah sok nangis lu. Udah sini gue ajarin. Ntar lo kerjain. Oke?” sanggup Faya
sambil membereskan buku-buku di mejanya. Teman sebangkunya, Yasha, belum datang
dan dia takkan datang sepagi ini. Tidak seperti Faya dan Farres. Bedanya, Faya
sudah terbiasa datang pagi karena takut terlambat, sedangkan Farres karena
belum mengerjakan PR.
“Nih
Res, lo harus udah ngerti dasarnya dulu. Lo harus mengerti apa itu data,
median, modus dulu, Res” ajar Faya yang telah duduk bersebelahan dengan Farres.
“Yailah
Fay, itu gue udah ngerti kali. Ajarin
gue soal-soal yang susah ajaaa,” kata Farres dengan gaya meremehkannya. Dengan
sukses ia membuat Faya meliriknya dengan tatapan sinis.
Faya
pun melanjutkan “sesi mengajarnya” dengan cara langsung terjun ke soal,
menuruti kemauan muridnya. Ada beberapa alasan yang membuat Faya mau
repot-repot memberitahukan seluruh PR lewat sms pada Farres, mengajari Farres
atau mau menjadi teman sekelompoknya Farres. Alasannya adalah karena Faya
merasa Farres sebenarnya pintar jika dia berusaha lebih keras. Hal ini dapat
dibuktikan dengan kemauan dia belajar dan cepat tanggap pada pelajaran. Tapi
halangan terbesarnya adalah: malas.
Kelas
mulai ramai. Dan bukan hanya Farres sekarang yang sibuk dengan PR matematika.
Banyak juga yang belajar pelajaran sejarah karena hari ini akan diadakan kuis
dadakan. Aneh sih belajar untuk sesuatu yang dadakan, yang artinya kita
seharusnya belum tahu. Tapi gosip-gosip dari kelas lain selalu ada. Alhasil
kelas Faya telah mempersiapkan segalanya untuk sejarah demi mendapatkan nilai
yang memuaskan
“Fay,
boleh pinjam catatan matematika lo nggak? Pas yang kemarin gue bingung
nyatetnya darimana,” kata Nando yang tiba-tiba duduk menghadap Faya dan Farres.
Faya cukup kaget dengan kehadirannya karena sedari tadi ia memperhatikan
pekerjaan Farres.
Belum
sempat Faya menjawab, Farres menyambar “Bentar dulu, Nan. Catatan Faya lagi gue
pakai buat ngerjain PR nih. Lo kan udah pinter, jadi santai aja bro”, katanya
sambil tetap mengerjakan PR nya. “Woles aja bre, gue nggak buru-buru kok. Lo
ngerjain PR, Res? Gue belum ngerjain nih,” kata Nando sambil memperhatikan
keadaan kelas yang mulai bising. Berbeda dengan Faya, yang perhatiannya pada
pekerjaan Farres teralihkan pada Nando.
Nando
adalah murid yang pintar dan sering menjuarai berbagai kompetisi akademik. Baik
di sekolah maupun di luar sekolah. Ia juga jago dalam bidang seni lukis dan
olahraga. Selain itu ia adalah orang yang menyenangkan dan ya, semua gadis tahu
kalau Nando memiliki wajah yang tampan. Wajahnya merupakan campuran dari suku
Jawa, Sunda dan Turki. Kulitnya putih, alisnya tebal, garis matanya tegas dan
khas Turki. Tapi tidak meninggalkan “manis”nya orang Jawa. Sempurna?. Entahlah,
manusia tak ada yang sempurna, bukan?
“Fay,
boleh lihat PR lo nggak? Gue banyak soal yang belum nih,” kata Nando tiba-tiba
yang langsung menengok ke arah Faya. Faya yang sedari tadi memperhatikan Nando
tentu terkejut dan menjadi malu sendiri. Bodoh
banget sih, Fay... sampai ke-gep gitu, batin Faya dalam hati. Faya pun
menjadi salah tingkah dan membuat Nando bingung sendiri.
“Fay?
Boleh nggak?” tanya Nando sekali lagi, tidak menyadari apa yang terjadi. “Boleh
Nan! Boleh banget kok. Nih,” jawab Faya spontan sambil menyodorkan buku
bersampul cokelat. Farres yang dari tadi tetap konsentrasi pada pekerjaannya
langsung menatap dengan ekspresi kaget dan heran bercampur kesal pada Faya,
“Demi apa lo bolehin Nando pinjem, Fay? Terus kenapa tadi gue nggak boleh
pinjeeeem?” kata Farres sambil mencubit lengan Faya yang langsung meringis
karenanya. Nando hanya tertawa melihat keduanya. Maklum, pemandangan seperti
ini sudah tak asing lagi di kelas. “Iiiih.. gue pinjemin Nando tuh karena dia
udah pinter! Dan gue tau banget kalau dia itu nggak nyontek gitu aja kayak lo,
Res! Dan cuma jadiin latihan gue sebagai acuan!”, teriak Faya setelah berhasil
membalas cubitan Farres, yang meringis kesakitan dan merasa menyesal telah
mencubit Faya.
“Apa?
Lo tau banget Nando? Cieeee lo emang stalker
nya Nando sejati deh! Uhuuuuy,” ledek Farres yang langsung membuat wajah Faya
memerah. “Bukan gitu, Res. Tapi gue pengen lo tuh memahami materi ini. Kalau
gue pinjemin, lo pasti bakal jadi malas ngerjain dan memilih buat nyalin aja.
Gue kan tau banget sikap lo,” jelas Faya yang berusaha keras berkspresi biasa
saja walaupun wajahnya tetap memerah. Dia sendiri tidak mengerti mengapa
wajahnya menjadi seperi kepiting rebus. Mungkin ada satu alasan, tetapi Faya
sendiri belum yakin dengan alasan itu.
“Cieeeeee,
pengertian banget sih, Fay, sama Farres,” goda Nando sambil mencolek dagu Faya.
Wajah Faya yang sudah merah, makin merona karenanya. Entah karena diledek
dengan Farres atau karena colekan singkat dari Nando. Yang pasti, kedua cowok
itu puas menertawakan Faya yang wajahnya belum kembali normal juga. Faya yang
menjadi objek tertawaan, sebal dibuatnya dan melengos pergi keluar kelas.
Udara
pagi ini mendung walau belum ada tanda-tanda yang lebih jelas akan turunnya
hujan. Faya sangat suka hujan. Menurutnya hujan itu dapat menyejukkan pikiran
walau sering kali membangkitkan kenangan lama. Faya bersandar pada tembok
pembatas koridor dan menatap langit. Kelas Faya berada di lantai tiga, sehingga
sangat sering terasa angin segar disana. Pikiran tentang Farres dan Nando pun
mendominasi kepalanya. Mereka sudah berteman cukup lama walaupun tidak
sepenuhnya Faya memahami mereka. Farres sangat sering meminta bantuan Faya
tentang pelajaran, begitu juga dengan Nando yang sering meminjam catatan Faya.
Mereka pun cocok menjadi teman mengobrol Faya. Ia pun yakin perasaannya pada
mereka hanya sebatas sahabat. Namun dia tetap tidak tahu apa yang akan terjadi
di masa depan.
Faya pun
menengadahkan tangan berharap setetes hujan membasahinya. Dan kecewa seketika
karena perbuatannya barusan sia-sia. Tepat setelah Faya menengok ke kiri, Tissa,
pacar Farres, sedang berjalan menuju kelasnya sambil membawa kotak bekal. Pasti mau sarapan bareng lagi, batin
Faya. Faya sedikit kesal, karena pasti Farres tidak melanjutkan latihannya.
Atau... kesal karena cemburu?
“Sendirian aja,
Neng,” tiba-tiba seseorang ikut bersandar di samping Faya. “Lah, Nan, udah
selesai minjem buku gue?”, tanya Faya yang sebenarnya masih terkejut. “Belum,
Fay. Maaf ya. Soalnya gue juga mau dong ngerasain angin-angin mendung unyu gini
hahaha,” kata Nando seraya tertawa yang diikuti oleh Faya. “Iya bener, Nan!
Rugi deh kalau nggak ngerasain udara hari ini,” ujar Faya. Memang benar udara
pagi ini sangat sejuk, apalagi ditemani sama Nando hihihi, eh keceplosan..
“Fay, nanti malam
lo dirumah kan?”, tanya Nando tiba-tiba. “Di rumah kok, Nan. Mau kerumah?”,
kata Faya dengan menawarkan walau tidak yakin, “Iya Fay. Gue butuh teman buat
ngerjain Bahasa Jepang. Nggak ngerti-ngerti nih. Boleh kan? Nanti gue lanjutin
deh cerita Superman Nyasar Di Mars. Oke?”, sambil menatap
dalam mata Faya. Yang gini nih yang nggak
bisa ditolak. Mainnya pakai mata, pikir Faya. “Oke Nan, okeeee,” jawab Faya
senang hati. Walaupun rumah Faya sering dikunjungi oleh Nando, namun rasanya
tetap menyenangkan mendengar kabar itu.
Tiba-tiba keluar
Riris, salah satu siswa di kelas sebelah. Ia pun langsung menuju tembok
pembatas dan menghirup udara yang sejuk ini. Spontan, Nando langsung
menghamipirinya dan menyapanya dengan wajah berseri.
Mereka pacaran?
Tidak sama sekali. Dan itu merupakan pengakuan dari Nando dan Riris. Selain itu
Riris adalah teman Faya semenjak duduk di Sekolah Dasar dan ia sangat
mengetahui kalau Riris sudah jadian
dengan teman SD mereka. Tetapi banyak yang mengira kedekatan Nando dan Riris
adalah sebagai sepasang kekasih. Mereka mengaku hanya bersahabat, walau...sikap
mereka seperti sepasang kekasih. Terlihat keduanya mengobrol dengan semangat,
apalagi Nando. Sangat berbeda dengan ketika ia mengobrol dengan Faya tadi.
Nando terlihat
berbeda.Cara berbicaranya pada Riris, tatapannya sampai sikapnya pada Riris
sangat terlihat begitu spesial. Orang awam yang melihat mereka pasti dapat
langsung menebak kalau Nando menyayangi Riris. Tetapi tidak untuk Faya.
Bukannya Faya sangat bodoh untuk tidak menyadari hal ini, namun ia menolak
untuk menyadarinya.
***
16 Maret 2012
“Iya Fay, emang
katanya mereka nggak jadian, tapi
sikap mereka berdua itu loh...kok dekat banget,” gosip Tissa dengan semangat
menggebu-gebu. Untuk urusan bergosip, memang Tissa jagonya. Ehm..maksudnya biangnya.
“Dari dulu si
Riris sama cowok memang seperti itu sih, Tis. Dekat dengan cowok sampai seperti
pacar sendiri. Gue juga sering banget risih sama sikap dia yang kayak gitu,”
timpal Faya menanggapi. Perkataan tersebut sudah sangat sering dikatakan oleh
Faya. Dan memang, banyak yang mendukung tanggapannya tersebut, baik karena
mengamati sendiri maupun karena ikut-ikut saja.
“Tuh kan, Fay. Lo
tahu sendiri dia kayak gimana. Bukan cuma itu! Lihat deh cara mereka ketika
lagi saling menatap, kayak nggak ada kata ‘cuma teman’ diantara mereka! Dan
parahnya lagi, mereka tuh kalau lagi sepi, suka ngomong pakai ‘aku-kamu’! Bukan
gue aja loh, Fay, yang dengar. Tapi si Rina, Fika bahkan Farid juga dengar!”,
gosip Tissa semakin mempengaruhi pikiran Faya.
“Masa sih, Tis?”,
tanya Faya tidak percaya. Ia memang belum mengetahui hal terakhir secara
langsung, dan mencoba berpikir positif kalau menggunakan ‘aku-kamu’ itu bukan
cuma untuk orang pacaran aja kan? Anak kecil juga menggunakan itu...mungkin
saja keduanya kekanak-kanakan.
“Iya, Fay. Bahkan
banyak loh kakak kelas yang nanya ke anak-anak angkatan kita tentang hubungan
mereka. Guru-guru pun sering mengoda mereka,” jawab Tissa sambil
mengipas-ngipas. Mungkin dia kepanasan karena gosip yang dibicarakan terlalu
‘panas’.
Hati Faya semakin
bingung. Bingung bagaimana memandang sahabatnya yang satu itu seperti apa.
Nando pasti hanya menganggap dirinya sebagai sahabat, tidak lebih. Pasti aku hanya kegeeran aja, pikir Faya
pesimis. Ia tak bisa peka dengan sifat dan apa yang sebenarnya ingin dilakukan
Nando. Baginya Nando itu sulit ditebak dan menurutnya Nando hanya menganggapnya
teman dekat. Iyalah, mana mau dia sama
cewek dekil kayak aku. Udah dekil, kusam, jelek lagi. Nyadar diri aja deh, Fay,
kata Faya putus asa dalam hati.
***
27
Maret 2012
Tugas
menumpuk semakin banyak. Mulai dari praktek Kimia, drama Bahasa Indonesia
sampai karya tulis setelah mengikuti program goes to campus dua minggu yang lalu. Kebanyakan memang merupakan
tugas kelompok, tapi sialnya Faya harus terjebak dengan Farres dalam seluruh
kelompok. Selain dipilihkan karena absen mereka berdekatan, tetapi juga karena
tempat duduk mereka yang berdekatan. Mungkin sudah takdir. Toh, dengan adanya Farres, aku jadi punya teman yang nyambung di dalam
kelompok, batin Faya berpikir positif.
“Fay,
nanti pulang sekolah kerja kelompok karya tulis ya! Cicil aja mulai dari
sekarang,” kata Erlan saat istirahat. Memang deadline karya tulis masih lama sekali, yaitu bulan Mei. Sedangkan
sekarang sudah bulan Maret, tetapi kelompok kami belum memiliki konsep sama
sekali. “Sekalian bilangin ke Farres ya, Fay”, tambahnya. “Lah lo bilang
langsung aja, Lan. Dia pasti langsung nurut
deh sama lo,” kata Faya sambil membuka kotak bekalnya. Aroma udang asam manis
pun langsung menyeruak masuk ke hidung mancungnya.
“Tapi
Fay, kalo sama gue dia cuma bakal inget saat itu aja. Nah cuma lo Fay yang bisa
menangani dia. Gue juga nanti coba bilangin ke dia kok,” ucap Erlan sambil
mencomot udang asam manis milik Faya. Entah kenapa orang-orang merasa yang
dapat menangani Farres hanyalah Faya. Padahal sikap yang dilakukan Faya pada
Farres biasa saja, sama seperti orang lain.
“Yaudahlah,
Lan. Nanti gue kasih tahu deh,” pasrah Faya. Erlan pun pergi setelah
menepuk-nepuk pundak Faya dengan maksud menyemangati. Entah menyemangati untuk
apa. Atau Faya salah mengartikan ‘tepukan-pundak’ itu? Faya pun tidak peduli
dan meneruskan makan bekalnya sendirian. Yasha, yang juga merupakan teman seperbekalan, hari ini ternyata lupa
membawa bekal karena katanya seluruh anggota keluarganya di rumah terlambat
bangun. Sungguh keluarga yang kompak bukan?.
“Senyum
mulu, Fay. Hati-hati udangnya hilang loh hahaha,” kata Farres yang tiba-tiba
datang dan duduk di sebelah Faya dengan mata berbinar-binar melihat bekal Faya.
“Yeee, gue lagi inget ceritanya si Yasha sih tadi pagi. Masa dia sekeluarga
terlambat bangun, Res! Kan alay banget nggak sih? Hahaha,” cerita Faya seraya
menyendokkan makanan ke mulutnya. Farres memperhatikannya sambil mencomot udang
diam-diam.
“Anjrit,
bisa gitu dia hahaha. Pantes pas tadi dateng sekolah mukanya masih ngantuk
gitu,” kata Farres sambil mengunyah udang comotannya. Walaupun dia sudah
mencomot diam-diam, tetapi Farres tetap memperhatikan Faya makan dengan
ekspresi orang kelaparan. “Lo kenapa sih, Res, ngeliatinnya gitu banget? Mau?
Nih!,” tawar Faya sambil menyodorkan kotak bekalnya.
“Aaah gue maunya
disuapin,” kata Farres sambil sok-sok merajuk. “Ya ampun, tadi nyolong udang
diem-diem bisa! Sekarang masa disuapin,” sindir Faya disambut cengiran Farres.
“Yah kan tadi nggak pakai nasi, Fay. Gitu aja nggak peka deh,” kata Farres dengan
ekspresi sok-sok ngambek. Dan entah ada zat apa, ketika Farres berekspresi
begitu, Faya langsung mau menuruti permintaannya walau sedikit terpaksa.
“Yaudah sini,
aaaa,” Faya pun mengarahkan sendoknya ke arah mulut Farres terbuka lebar.
Anehnya kedua mata Farres tidak memfokuskan pada sendok tersebut, melainkan
pada kedua mata Faya yang sedang balas menatapnya dalam. Dan tatapan Farres
tidak sedang berkilat iseng seperti biasa. Tidak juga bersinar seperti
biasanya. Dia hanya menatapnya, dalam.
Deg! Jantung Faya
berdebar. Kok gue deg-degan? Tanya
Faya pada diri sendiri. Bertahun-tahun Faya bersahabat dengan Farres, ia baru
merasakan jantungnya berdetak tidak normal saat ini. Seketika mereka langsung
diam dan mulai melanjutkan aktivitas mereka. Walaupun kecanggungan terus
melanda dan masih terdiam tanpa suara.
Debar jantung
Faya masih terasa. Faya tidak mengerti kenapa dia berdebar. Tatapan Farres yang
menusuk dalam, berbeda dengan tatapan Farres di awal pertemuan mereka. Ada
sesuatu tersirat disana. Dan Faya tidak berani untuk yakin pada dugaannya
tersebut.
“Farres! Ayo makan di kelasku. Aku lagi bawa udang
asam manis kesukaan kamu nih!”, teriak sebuah suara yang tiba-tiba muncul. Kepala
Tissa muncul dari balik pintu. Farres, yang baru saja terlonjak kaget, menengok
kearahnya dengan cepat. Ia pun segera menghampirinya setengah berlari diiringi
senyuman hangat.
“Res! Nanti pulang sekolah kerja kelompok dulu
ya!”, teriak Faya spontan. Dalam benak Faya, ia ingin menyampaikan amanat dari
Erlan. Atau mungkin hanya ingin sekedar menatap matanya sekali lagi. Farres pun
hanya mengacungkan jempolnya diiringi
cengiran, dan pergi bersama Tissa. Faya, memilih melanjutkan makan dalam
kesendirian.
Gimanaaa? Penasaran nggak?
Kalo iya, Alhamdulillah
Kalo nggak, yaudah
Tolong kasih kritik & saran yaaaa. Makasih :)
Gimanaaa? Penasaran nggak?
Kalo iya, Alhamdulillah
Kalo nggak, yaudah
Tolong kasih kritik & saran yaaaa. Makasih :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar