Minggu, 16 Desember 2012

Lelucon Cinta

Hola hola holaaaa :D
Udah lama ga ngepost ya :')
Ini nih, gue mau mencoba ngepost sebuah "TABUNG". Bukan, bukan foto kaleng, tabungan apalagi bayi tabung.

Tapi, TABUNG adalah....*jeng jeng jeng jeeeeeng* CERITA BERSAMBUNG!!

Jadi ini sebenernya cerpen gue buat tugas sekolah. Awalnya gue pikir maksimal jumlah kata buat cerpen itu 10.000, tapi ternyata... cuma 5000 -_-
Dan jumlah kata di cerita ini juga 5000 kok... lima ribu sembilan ratus lebih yeah.

So, gue buat aja jadi Tabung dan.... Cekidot!




Cewek sama cowok nggak bisa sahabatan? Kenapa? Takut adanya benih-benih cinta? Ah, basi!
**
      3 Februari 2012
Cewek. Gadis. Wanita. Perempuan. Semuanya sama. Walaupun punya karakter yang berbeda tapi tetap saja sama. Sama-sama suka bergosip, terkadang senang dimanja, senang dipuji dan menyukai cowok. Terutama yang terakhir. Dan itu yang menjadi masalah. Wanita diciptakan untuk menyukai pria. Begitu sebaliknya. Bukan hanya menyukai, tetapi mencintai. Jadi, apa bisa hanya sekedar menjadi sahabat?
      Bisa! jawab Faya, yakin. Ya memang itu yang terjadi padanya. Faya bisa bersahabat dengan cowok. Bukan karena ia tomboy atau tidak memiliki teman perempuan, tetapi karena....entahlah. Persahabatan terjadi dengan sendirinya.
      “Fay! Liat matematika dong” kata Farres, sahabat cowok Faya entah sejak kapan. Pertama kali melihat Farres, Faya takut menatap matanya. Bukan, bukan karena takut menjadi salah tingkah tetapi matanya terlalu tajam. Terlalu tajam untuk orang yang belum mengenalnya. Untung mereka tak sekelas di tahun awal SMA. Tetapi sekarang....
      “Aaaah Farres, kemarin kan udah gue sms kalo ada PR. Kenapa lo nggak ngerjain sih? Usaha dikit kek,” jawab Faya, kesal. Ia memang setiap hari mengirimi Farres sms berisi PR-PR semenjak Farres memintanya. “Pleaseee...gue udah  coba ngerjain kok tapi ada yang nggak ngerti jadinya bete. Boleh ya? Ajarin gue juga deh” mohon Farres dengan tatapan nanar yang sok-ingin-nangis-dan-putus-asa.
      “Nggak usah sok nangis lu. Udah sini gue ajarin. Ntar lo kerjain. Oke?” sanggup Faya sambil membereskan buku-buku di mejanya. Teman sebangkunya, Yasha, belum datang dan dia takkan datang sepagi ini. Tidak seperti Faya dan Farres. Bedanya, Faya sudah terbiasa datang pagi karena takut terlambat, sedangkan Farres karena belum mengerjakan PR.
      “Nih Res, lo harus udah ngerti dasarnya dulu. Lo harus mengerti apa itu data, median, modus dulu, Res” ajar Faya yang telah duduk bersebelahan dengan Farres.
      “Yailah Fay, itu gue udah ngerti kali.  Ajarin gue soal-soal yang susah ajaaa,” kata Farres dengan gaya meremehkannya. Dengan sukses ia membuat Faya meliriknya dengan tatapan sinis.
      Faya pun melanjutkan “sesi mengajarnya” dengan cara langsung terjun ke soal, menuruti kemauan muridnya. Ada beberapa alasan yang membuat Faya mau repot-repot memberitahukan seluruh PR lewat sms pada Farres, mengajari Farres atau mau menjadi teman sekelompoknya Farres. Alasannya adalah karena Faya merasa Farres sebenarnya pintar jika dia berusaha lebih keras. Hal ini dapat dibuktikan dengan kemauan dia belajar dan cepat tanggap pada pelajaran. Tapi halangan terbesarnya adalah: malas.
      Kelas mulai ramai. Dan bukan hanya Farres sekarang yang sibuk dengan PR matematika. Banyak juga yang belajar pelajaran sejarah karena hari ini akan diadakan kuis dadakan. Aneh sih belajar untuk sesuatu yang dadakan, yang artinya kita seharusnya belum tahu. Tapi gosip-gosip dari kelas lain selalu ada. Alhasil kelas Faya telah mempersiapkan segalanya untuk sejarah demi mendapatkan nilai yang memuaskan
      “Fay, boleh pinjam catatan matematika lo nggak? Pas yang kemarin gue bingung nyatetnya darimana,” kata Nando yang tiba-tiba duduk menghadap Faya dan Farres. Faya cukup kaget dengan kehadirannya karena sedari tadi ia memperhatikan pekerjaan Farres.
      Belum sempat Faya menjawab, Farres menyambar “Bentar dulu, Nan. Catatan Faya lagi gue pakai buat ngerjain PR nih. Lo kan udah pinter, jadi santai aja bro”, katanya sambil tetap mengerjakan PR nya. “Woles aja bre, gue nggak buru-buru kok. Lo ngerjain PR, Res? Gue belum ngerjain nih,” kata Nando sambil memperhatikan keadaan kelas yang mulai bising. Berbeda dengan Faya, yang perhatiannya pada pekerjaan Farres teralihkan pada Nando.
      Nando adalah murid yang pintar dan sering menjuarai berbagai kompetisi akademik. Baik di sekolah maupun di luar sekolah. Ia juga jago dalam bidang seni lukis dan olahraga. Selain itu ia adalah orang yang menyenangkan dan ya, semua gadis tahu kalau Nando memiliki wajah yang tampan. Wajahnya merupakan campuran dari suku Jawa, Sunda dan Turki. Kulitnya putih, alisnya tebal, garis matanya tegas dan khas Turki. Tapi tidak meninggalkan “manis”nya orang Jawa. Sempurna?. Entahlah, manusia tak ada yang sempurna, bukan?
      “Fay, boleh lihat PR lo nggak? Gue banyak soal yang belum nih,” kata Nando tiba-tiba yang langsung menengok ke arah Faya. Faya yang sedari tadi memperhatikan Nando tentu terkejut dan menjadi malu sendiri. Bodoh banget sih, Fay... sampai ke-gep gitu, batin Faya dalam hati. Faya pun menjadi salah tingkah dan membuat Nando bingung sendiri.
      “Fay? Boleh nggak?” tanya Nando sekali lagi, tidak menyadari apa yang terjadi. “Boleh Nan! Boleh banget kok. Nih,” jawab Faya spontan sambil menyodorkan buku bersampul cokelat. Farres yang dari tadi tetap konsentrasi pada pekerjaannya langsung menatap dengan ekspresi kaget dan heran bercampur kesal pada Faya, “Demi apa lo bolehin Nando pinjem, Fay? Terus kenapa tadi gue nggak boleh pinjeeeem?” kata Farres sambil mencubit lengan Faya yang langsung meringis karenanya. Nando hanya tertawa melihat keduanya. Maklum, pemandangan seperti ini sudah tak asing lagi di kelas. “Iiiih.. gue pinjemin Nando tuh karena dia udah pinter! Dan gue tau banget kalau dia itu nggak nyontek gitu aja kayak lo, Res! Dan cuma jadiin latihan gue sebagai acuan!”, teriak Faya setelah berhasil membalas cubitan Farres, yang meringis kesakitan dan merasa menyesal telah mencubit Faya.
      “Apa? Lo tau banget Nando? Cieeee lo emang stalker nya Nando sejati deh! Uhuuuuy,” ledek Farres yang langsung membuat wajah Faya memerah. “Bukan gitu, Res. Tapi gue pengen lo tuh memahami materi ini. Kalau gue pinjemin, lo pasti bakal jadi malas ngerjain dan memilih buat nyalin aja. Gue kan tau banget sikap lo,” jelas Faya yang berusaha keras berkspresi biasa saja walaupun wajahnya tetap memerah. Dia sendiri tidak mengerti mengapa wajahnya menjadi seperi kepiting rebus. Mungkin ada satu alasan, tetapi Faya sendiri belum yakin dengan alasan itu.
      “Cieeeeee, pengertian banget sih, Fay, sama Farres,” goda Nando sambil mencolek dagu Faya. Wajah Faya yang sudah merah, makin merona karenanya. Entah karena diledek dengan Farres atau karena colekan singkat dari Nando. Yang pasti, kedua cowok itu puas menertawakan Faya yang wajahnya belum kembali normal juga. Faya yang menjadi objek tertawaan, sebal dibuatnya dan melengos pergi keluar kelas.
      Udara pagi ini mendung walau belum ada tanda-tanda yang lebih jelas akan turunnya hujan. Faya sangat suka hujan. Menurutnya hujan itu dapat menyejukkan pikiran walau sering kali membangkitkan kenangan lama. Faya bersandar pada tembok pembatas koridor dan menatap langit. Kelas Faya berada di lantai tiga, sehingga sangat sering terasa angin segar disana. Pikiran tentang Farres dan Nando pun mendominasi kepalanya. Mereka sudah berteman cukup lama walaupun tidak sepenuhnya Faya memahami mereka. Farres sangat sering meminta bantuan Faya tentang pelajaran, begitu juga dengan Nando yang sering meminjam catatan Faya. Mereka pun cocok menjadi teman mengobrol Faya. Ia pun yakin perasaannya pada mereka hanya sebatas sahabat. Namun dia tetap tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan.
Faya pun menengadahkan tangan berharap setetes hujan membasahinya. Dan kecewa seketika karena perbuatannya barusan sia-sia. Tepat setelah Faya menengok ke kiri, Tissa, pacar Farres, sedang berjalan menuju kelasnya sambil membawa kotak bekal. Pasti mau sarapan bareng lagi, batin Faya. Faya sedikit kesal, karena pasti Farres tidak melanjutkan latihannya. Atau... kesal karena cemburu?
“Sendirian aja, Neng,” tiba-tiba seseorang ikut bersandar di samping Faya. “Lah, Nan, udah selesai minjem buku gue?”, tanya Faya yang sebenarnya masih terkejut. “Belum, Fay. Maaf ya. Soalnya gue juga mau dong ngerasain angin-angin mendung unyu gini hahaha,” kata Nando seraya tertawa yang diikuti oleh Faya. “Iya bener, Nan! Rugi deh kalau nggak ngerasain udara hari ini,” ujar Faya. Memang benar udara pagi ini sangat sejuk, apalagi ditemani sama Nando hihihi, eh keceplosan..
“Fay, nanti malam lo dirumah kan?”, tanya Nando tiba-tiba. “Di rumah kok, Nan. Mau kerumah?”, kata Faya dengan menawarkan walau tidak yakin, “Iya Fay. Gue butuh teman buat ngerjain Bahasa Jepang. Nggak ngerti-ngerti nih. Boleh kan? Nanti gue lanjutin deh cerita Superman Nyasar Di Mars. Oke?”, sambil menatap dalam mata Faya. Yang gini nih yang nggak bisa ditolak. Mainnya pakai mata, pikir Faya. “Oke Nan, okeeee,” jawab Faya senang hati. Walaupun rumah Faya sering dikunjungi oleh Nando, namun rasanya tetap menyenangkan mendengar kabar itu.
Tiba-tiba keluar Riris, salah satu siswa di kelas sebelah. Ia pun langsung menuju tembok pembatas dan menghirup udara yang sejuk ini. Spontan, Nando langsung menghamipirinya dan menyapanya dengan wajah berseri.
Mereka pacaran? Tidak sama sekali. Dan itu merupakan pengakuan dari Nando dan Riris. Selain itu Riris adalah teman Faya semenjak duduk di Sekolah Dasar dan ia sangat mengetahui kalau Riris sudah jadian dengan teman SD mereka. Tetapi banyak yang mengira kedekatan Nando dan Riris adalah sebagai sepasang kekasih. Mereka mengaku hanya bersahabat, walau...sikap mereka seperti sepasang kekasih. Terlihat keduanya mengobrol dengan semangat, apalagi Nando. Sangat berbeda dengan ketika ia mengobrol dengan Faya tadi.
Nando terlihat berbeda.Cara berbicaranya pada Riris, tatapannya sampai sikapnya pada Riris sangat terlihat begitu spesial. Orang awam yang melihat mereka pasti dapat langsung menebak kalau Nando menyayangi Riris. Tetapi tidak untuk Faya. Bukannya Faya sangat bodoh untuk tidak menyadari hal ini, namun ia menolak untuk menyadarinya.

***
16 Maret 2012
“Iya Fay, emang katanya mereka nggak jadian, tapi sikap mereka berdua itu loh...kok dekat banget,” gosip Tissa dengan semangat menggebu-gebu. Untuk urusan bergosip, memang Tissa jagonya. Ehm..maksudnya biangnya.
“Dari dulu si Riris sama cowok memang seperti itu sih, Tis. Dekat dengan cowok sampai seperti pacar sendiri. Gue juga sering banget risih sama sikap dia yang kayak gitu,” timpal Faya menanggapi. Perkataan tersebut sudah sangat sering dikatakan oleh Faya. Dan memang, banyak yang mendukung tanggapannya tersebut, baik karena mengamati sendiri maupun karena ikut-ikut saja.
“Tuh kan, Fay. Lo tahu sendiri dia kayak gimana. Bukan cuma itu! Lihat deh cara mereka ketika lagi saling menatap, kayak nggak ada kata ‘cuma teman’ diantara mereka! Dan parahnya lagi, mereka tuh kalau lagi sepi, suka ngomong pakai ‘aku-kamu’! Bukan gue aja loh, Fay, yang dengar. Tapi si Rina, Fika bahkan Farid juga dengar!”, gosip Tissa semakin mempengaruhi pikiran Faya.
“Masa sih, Tis?”, tanya Faya tidak percaya. Ia memang belum mengetahui hal terakhir secara langsung, dan mencoba berpikir positif kalau menggunakan ‘aku-kamu’ itu bukan cuma untuk orang pacaran aja kan? Anak kecil juga menggunakan itu...mungkin saja keduanya kekanak-kanakan.
“Iya, Fay. Bahkan banyak loh kakak kelas yang nanya ke anak-anak angkatan kita tentang hubungan mereka. Guru-guru pun sering mengoda mereka,” jawab Tissa sambil mengipas-ngipas. Mungkin dia kepanasan karena gosip yang dibicarakan terlalu ‘panas’.
Hati Faya semakin bingung. Bingung bagaimana memandang sahabatnya yang satu itu seperti apa. Nando pasti hanya menganggap dirinya sebagai sahabat, tidak lebih. Pasti aku hanya kegeeran aja, pikir Faya pesimis. Ia tak bisa peka dengan sifat dan apa yang sebenarnya ingin dilakukan Nando. Baginya Nando itu sulit ditebak dan menurutnya Nando hanya menganggapnya teman dekat. Iyalah, mana mau dia sama cewek dekil kayak aku. Udah dekil, kusam, jelek lagi. Nyadar diri aja deh, Fay, kata Faya putus asa dalam hati.
***
      27 Maret 2012
      Tugas menumpuk semakin banyak. Mulai dari praktek Kimia, drama Bahasa Indonesia sampai karya tulis setelah mengikuti program goes to campus dua minggu yang lalu. Kebanyakan memang merupakan tugas kelompok, tapi sialnya Faya harus terjebak dengan Farres dalam seluruh kelompok. Selain dipilihkan karena absen mereka berdekatan, tetapi juga karena tempat duduk mereka yang berdekatan. Mungkin sudah takdir. Toh, dengan adanya Farres, aku jadi punya teman yang nyambung di dalam kelompok, batin Faya berpikir positif.
      “Fay, nanti pulang sekolah kerja kelompok karya tulis ya! Cicil aja mulai dari sekarang,” kata Erlan saat istirahat. Memang deadline karya tulis masih lama sekali, yaitu bulan Mei. Sedangkan sekarang sudah bulan Maret, tetapi kelompok kami belum memiliki konsep sama sekali. “Sekalian bilangin ke Farres ya, Fay”, tambahnya. “Lah lo bilang langsung aja, Lan. Dia pasti langsung nurut deh sama lo,” kata Faya sambil membuka kotak bekalnya. Aroma udang asam manis pun langsung menyeruak masuk ke hidung mancungnya.
      “Tapi Fay, kalo sama gue dia cuma bakal inget saat itu aja. Nah cuma lo Fay yang bisa menangani dia. Gue juga nanti coba bilangin ke dia kok,” ucap Erlan sambil mencomot udang asam manis milik Faya. Entah kenapa orang-orang merasa yang dapat menangani Farres hanyalah Faya. Padahal sikap yang dilakukan Faya pada Farres biasa saja, sama seperti orang lain.
      “Yaudahlah, Lan. Nanti gue kasih tahu deh,” pasrah Faya. Erlan pun pergi setelah menepuk-nepuk pundak Faya dengan maksud menyemangati. Entah menyemangati untuk apa. Atau Faya salah mengartikan ‘tepukan-pundak’ itu? Faya pun tidak peduli dan meneruskan makan bekalnya sendirian. Yasha, yang juga merupakan teman seperbekalan, hari ini ternyata lupa membawa bekal karena katanya seluruh anggota keluarganya di rumah terlambat bangun. Sungguh keluarga yang kompak bukan?.
      “Senyum mulu, Fay. Hati-hati udangnya hilang loh hahaha,” kata Farres yang tiba-tiba datang dan duduk di sebelah Faya dengan mata berbinar-binar melihat bekal Faya. “Yeee, gue lagi inget ceritanya si Yasha sih tadi pagi. Masa dia sekeluarga terlambat bangun, Res! Kan alay banget nggak sih? Hahaha,” cerita Faya seraya menyendokkan makanan ke mulutnya. Farres memperhatikannya sambil mencomot udang diam-diam.
      “Anjrit, bisa gitu dia hahaha. Pantes pas tadi dateng sekolah mukanya masih ngantuk gitu,” kata Farres sambil mengunyah udang comotannya. Walaupun dia sudah mencomot diam-diam, tetapi Farres tetap memperhatikan Faya makan dengan ekspresi orang kelaparan. “Lo kenapa sih, Res, ngeliatinnya gitu banget? Mau? Nih!,” tawar Faya sambil menyodorkan kotak bekalnya.
“Aaah gue maunya disuapin,” kata Farres sambil sok-sok merajuk. “Ya ampun, tadi nyolong udang diem-diem bisa! Sekarang masa disuapin,” sindir Faya disambut cengiran Farres. “Yah kan tadi nggak pakai nasi, Fay. Gitu aja nggak peka deh,” kata Farres dengan ekspresi sok-sok ngambek. Dan entah ada zat apa, ketika Farres berekspresi begitu, Faya langsung mau menuruti permintaannya walau sedikit terpaksa.
“Yaudah sini, aaaa,” Faya pun mengarahkan sendoknya ke arah mulut Farres terbuka lebar. Anehnya kedua mata Farres tidak memfokuskan pada sendok tersebut, melainkan pada kedua mata Faya yang sedang balas menatapnya dalam. Dan tatapan Farres tidak sedang berkilat iseng seperti biasa. Tidak juga bersinar seperti biasanya.  Dia hanya menatapnya, dalam.
Deg! Jantung Faya berdebar. Kok gue deg-degan? Tanya Faya pada diri sendiri. Bertahun-tahun Faya bersahabat dengan Farres, ia baru merasakan jantungnya berdetak tidak normal saat ini. Seketika mereka langsung diam dan mulai melanjutkan aktivitas mereka. Walaupun kecanggungan terus melanda dan masih terdiam tanpa suara.
Debar jantung Faya masih terasa. Faya tidak mengerti kenapa dia berdebar. Tatapan Farres yang menusuk dalam, berbeda dengan tatapan Farres di awal pertemuan mereka. Ada sesuatu tersirat disana. Dan Faya tidak berani untuk yakin pada dugaannya tersebut.
 “Farres! Ayo makan di kelasku. Aku lagi bawa udang asam manis kesukaan kamu nih!”, teriak sebuah suara yang tiba-tiba muncul. Kepala Tissa muncul dari balik pintu. Farres, yang baru saja terlonjak kaget, menengok kearahnya dengan cepat. Ia pun segera menghampirinya setengah berlari diiringi senyuman hangat.
 “Res! Nanti pulang sekolah kerja kelompok dulu ya!”, teriak Faya spontan. Dalam benak Faya, ia ingin menyampaikan amanat dari Erlan. Atau mungkin hanya ingin sekedar menatap matanya sekali lagi. Farres pun hanya mengacungkan jempolnya diiringi  cengiran, dan pergi bersama Tissa. Faya, memilih melanjutkan makan dalam kesendirian.



Gimanaaa? Penasaran nggak?
Kalo iya, Alhamdulillah
Kalo nggak, yaudah

Tolong kasih kritik & saran yaaaa. Makasih :)